Rabu, 27 Juni 2007

Papa dulu sales, Tau Nggak? Ya mana Gue tahu !

MIMPI ANAK JADI NAGA
Oleh : Joseph LandRi

[belajar sampai ke negeri China]



GAN SHOU : MERASAKAN

Percuma saja orangtua sering berkata
kepada anaknya, bahwa mereka (orangtua) dulunya susah,
sengsara, melarat, dan lain sebagainya. Anak tidak bisa benar-benar
mengerti maksud perkataan itu karena
tidak pernah merasakan sendiri apa itu susah!



43. Papa Dulu Sales, Tau Nggak? Ya Mana Gue Tau! Emang Gue Pikirin?

Saat saya sedang bermain golf dengan teman-teman, salah seorang teman bercerita seperti ini. Ia adalah orang yang bisa dibilang sukses dalam karier dan keluarga. Ia punya tiga anak. Ia sering menasihati anaknya, “Kalian harus bersyukur dengan keadaan sekarang. Semua kebutuhan terpenuhi, kalau mau beIi handphone tinggal bilang, mau beIi laptop tinggal biIang, ingin makan enak tinggal biIang, ingin jalan-jalan ke berbagai tempat tinggal biIang, semuanya pasti bisa Iangsung terpenuhi. Tapi, kalian tahu nggak, papa ini duIunya salesman, merangkak dari bawah. Orangtua papa miskin, jadi apa-apa harus papa usahakan sendiri. Sejak kelas 3 SMA, papa sudah cari uang untuk bayar sekolah. Sampai kuliah pun papa menggunakan uang sendiri. Papa ingat sekali, duIu sewaktu jadi salesman, papa cicil motor butut karena butuh motor itu untuk berjualan. Kalau tidak ada motor, ibaratnya papa tidak punya kaki untuk berjalan”. Setelah berhari-hari mendengar hal itu, suatu hari si anak berkomentar dengan ringan, “Kita mana tahu dulu papa seperti apa. Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang. Zamannya sudah beda.” Anak yang lain bahkan sampai biIang, “Orangtua papa, kan, miskin, jadi tidak mampu belikan apa-apa. Tapi, kita, kan, lain. Orangtua kita orang kaya, mampu berikan apa saja.”

Walaupun terkesan kurang ajar, tetapi sebenarnya tanggapan anak-anak cukup logis. Mereka tidak mengalami sendiri susahnya hidup, jadi mereka santai-santai saja dan tidak mau berusaha keras. Masalahnya, bagaimana membuat anak mengerti bahwa hidup memerlukan perjuangan dan bahwa tidak selamanya keadaan akan seperti sekarang ini. Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Sebagai orangtua, kita harus tegas dalam mendidik anak. Misalnya, setelah anak bekerja, biarkan mereka hidup dari gajinya sendiri. Walaupun mungkin gaji si anak tidak besar, dan lebih kecil daripada uang saku yang biasa kita berikan kepadanya, kita harus tega membiarkannya hidup dari usahanya sendiri. Kita toh tidak ingin anak selamanya tergantung kepada kita. Jadi biarkan ia berjuang untuk hidupnya sendiri. Kalau ía ternyata tidak bisa hidup dengan gajinya itu, doronglah ia untuk berusaha lebih keras mendapatkan gaji yang lebih besar.


Selain itu, biarkan juga ia mencari pengalaman sendiri. Kita tidak perlu membuatkannya perusahaan sendiri karena tidak tega membayangkan harus bekerja dengan orang lain. Anak perlu belajar bergaul dan menjalin network, atau kalau ia bekerja di perusahaan kita, perlakukan ia sama dengan karyawan lain. Jangan beri hak-hak istimewa kepadanya. Kalau ia melakukan kesalahan, tegurlah dengan sewajarnya. Biarkan ia mengerti bahwa hidup memang perlu perjuangan.

Jangan terlalu berharap anak bisa mengerti kata-kata seperti “Papa dulu saIesman, tau nggak lu?” Biarkan ia merasakan sendiri yang namanya perjuangan. Baru setelah itu, ia akan bisa lebih menghargai hidup.

KETERGANTUNGAN

MIMPI ANAK JADI NAGA
Oleh : Joseph LandRi

[belajar sampai ke negeri China]




KETERGANTUNGAN (DEPENDENT)

Banyak orangtua, karena terlalu sayang
dengan anak dan khawatir anak kurang memiliki
kemampuan, melakukan apa saja,
walaupun sebenarnya anak bisa melakukannya sendiri.
Karena tidak diberi kesempatan
melakukan sendiri, anak tumbuh dengan ketergantungan pada orangtua.



55. Bagaimana Mungkin Bisa Mandiri Kalau Sekolah Dicarikan, Pergi Sekolah Diantar, Setelah Lulus pun Kerja Dicarikan?

Cara orangtua menunjukan rasa sayang pada anak memang bermacam-macam. Ada yang menunjukan secara berlebihan. Misalnya, saat anak lulus SMA dan ingin melanjutkan sekolah ke Amerika, ada orangtua yang sibuk mengurus sekolah, mengantar anak sampai Amerika, bahkan sampai menemani si anak di sana selama satu sampai tiga bulan pertama. Walaupun orangtua merasa tindakan itu wajar, tetapi apakah hal itu baik untuk perkembangan si anak?

Sebenarnya, salah satu tujuan mengirim anak bersekolah keluar negeri, kan untuk membuatnya mandiri, dewasa, dan bertambah pengetahuanya, supaya lebih bisa bersaing dengan anak lain. Oleh karena itu, kalau anak memang sepertinya belum mandiri, sebaiknya tidak usah dikirim bersekolah ke luar negeri. Apalagi, kalau si anak tidak tahu mau ngambil bidang apa, di sekolah mana, dan di kota mana, hal itu menunjukan kalau si anak belum pantas dikirim ke luar negeri. Sebaiknya anak yang belum siap itu disekolahkan di dalam negeri saja. Toh banyak juga sekolah di dalam negeri yang bermutu bagus. Banyak lulusannya yang bisa maju dalam karier dan hidup mandiri.

Kalau anak memang tidak siap bersekolah di luar negeri tetapi tetap dikirim ke sana, hasilnya tidak akan bagus. Yang lebih parah kalau setelah bersekolah di luar negeri, lulus, dan tiba saatnya untuk bekerja, anak tetap minta bantuan orangtua dalam mencarikan pekerjaan. Orangtua harus menggunakan koneksi untuk mencarikan pekerjaan bagi si anak. Kalau seperti itu ceritanya, lalu apa artinya menjadi lulusan luar negeri. Sementara, banyak lulusan perguruan tinggi lokal yang bisa mencari pekerjaan sendiri.

Sebenarnya, tidak susah mempersiapkan anak untuk bersekolah di luar negeri. Intinya, mulailah membicarakanya sedini mungkin. Sejak anak masih di SMA, arahkan ia untuk menentukan bidang apa yang ingin dipilih beserta sekolahnya. Biarkan anak yang menentukan sendiri pilihannya, mulai dari jurusan, sekolah, kota, perkiraan biaya hidup, dan lain sebagainya. Kita cukup memberi saran dan pendapat, bisa juga membantu mencari informasi mengenai jurusan dan sekolah di luar negeri. Sekarang ini, mudah sekali mencari informasi mengenai hal itu karena biasanya banyak pameran pendidikan yang digelar. Selain itu, juga banyak situs Web berisi informasi itu yang tersedia dan mudah diakses.

Kalau mengingat lagi cerita di awal topik bahasan tentang orangtua yang menemani anak sampai beberapa bulan di luar, mungkin kita heran, kenapa hal seperti itu bisa terjadi? Padahal, dari beberapa puluh tahun yang lalu sudah banyak pemuda yang meneruskan pendidikan ke luar negeri dan mengurus semuanya sendiri. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena orangtua seperti itu merupakan orang kaya baru. Mungkin karena merasa mampu, mereka serta-merta menyekolahkan anak ke luar negeri, tanpa melihat kalau si anak sebenarnya belum siap. Hal itu sangat berbeda dengan pemuda beberapa puluh tahun lalu yang melanjutkan sekolah ke luar negeri. Mereka merupakan anak-anak pandai yang mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di luar negeri. Oleh karena itu mereka benar-benar berniat untuk belajar dan berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu. Sudah pasti mereka pun siap menjalani kehidupan di luar negeri dan tidak perlu ditemani oleh siapa pun.

Anak yang dikirim bersekolah ke luar negeri semata-mata karena orangtua merasa mampu membiayai atau karena gengsi tentu tidak punya semangat yang besar untuk memperoleh pendidikan di sana. Itulah salah satu sebab mereka tidak menjadi lebih mandiri ketika pulang ke Indonesia setelah lulus.



Dewa-dewa
menanamkan akal sehat
pada umat manusia,
yang tertinggi
di antara semua anugerah yang baik.

____________ _________ ____